"MK itu ibarat sebagai tuhan selain Allah karena bisa menghukum, tapi tak bisa dihukum," kata Ketua Dewan Pimpinan MUI, Ma'ruf Amin sambil tertawa, dalam diskusi bertajuk "Keputusan MK tentang UU Perkawinan dan Implikasinya", di Kantor Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Jakarta Pusat, Senin (20/3).
Menurutnya, hal tersebut menjadi permasalah konstitusi atau perundang-perundangan, sehingga harus ada batasan proporsional untuk membenahi pengadil undang-undang itu.
Dikatakannya, salah satu produk putusan MK yang dianggap tidak bisa diganggu gugat, yaitu tentang vonis anak yang lahir di luar perkawinan yang ditetapkan mempunyai hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan sebagai ayah biologisnya.
Menurutnya, vonis tersebut sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam, sehingga menciptakan kekhawatiran berbagai elemen umat Islam di Tanah Air.
Karena vonis MK tersebut bertabrakan dengan ajaran Islam, MUI tengah mencari jalan agar MK meninjau kembali vonisnya itu.
"MUI sedang cari cara agar putusan MK ditinjau kembali. Tapi sosulisinya apa, MUI nggak tahu. Ini pakar hukum yang harus menjawabnya," ungkapnya.
Selain vonis MK bertentangan dengan ajaran Islam, MK juga memutus melebihi permohonan, karena yang diajukan Machicha Mochtar adalah soal anak yang lahir pada pernikahan siri tidak termasuk anak hasil perzinaan.
"Tapi putusan MK tak hanya anak hasil pernikahan siri, tapi seluruh anak yang di luar nikah mempunyai hubungan perdata. Baik itu hasil nikah siri atau perzinaan," tandasnya.
Sebelumnya, menanggapi fatwa MUI yang menentang putusan MK tentang anak di luar nikah, Ketua MK, Mahfud MD tak mempermasalahkannya. Pasalnya, putusan lembaga yang dipimpinnya itu pasti dinilai pro dan kontra.
Selain itu, MK bersikukuh, putusannya tidak membicarakan masalah nasab, karena MK hanya menetapkan anak di luar nikah mempunyai hubungan perdata dengan laki-laki yang menjadi ayah biologis yang dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan. [IS]
Pengamat:
MK Mencederai Perjuangan Umat Islam
Republika – 1 jam 30 menit laluHadapi Demo, Pemerintah 'Overacting'
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Proses disahkannya Undang-undang
perkawinan tahun 1974 merupakan perjuangan panjang umat Islam. Karena itu,
keputusan MK yang mengakui ayah biologis harus bertanggung jawab terhadap anak
yang dilahirkan di luar nikah telah menciderai UU perkawinan. Bahkan Dosen
Uinversitas Islam Indonesia Yogyakarta H Dadan Muttaqqien menilai jika MK telah
melampaui kewenangan DPR.
Selain itu, lanjut Dadan, sumber hukum perdata yang digunakan Indonesia ada tiga yaitu BW, hukum adat dan hukum Islam. "Karena itu, seharusnya MK menggunakan dasar Hukum Perdata Islam, bukan hukum perdata lainnya," tandas Dadan.
Dadan menilai keputusan MK tersebut dapat menimbulkan kegoncangan hukum dan
tidak memikirkan dampak lebih jauh terhadap merebaknya anak zina. MK telah
memasuki ranah syar’i tentang syarat sahnya suatu ibadah
mahdloh yaitu memasukkan teknologi terhadap sahnya anak hasil
perkawinan. Keputusan tersebut tidak akan dapat dilaksanakan bila tidak ada
perubahan undang-undang lainnya.Selain itu, lanjut Dadan, sumber hukum perdata yang digunakan Indonesia ada tiga yaitu BW, hukum adat dan hukum Islam. "Karena itu, seharusnya MK menggunakan dasar Hukum Perdata Islam, bukan hukum perdata lainnya," tandas Dadan.